Selasa, 23 Januari 2018

Komparasi Studi Sistem E-Government Terpilih di India (Negara Bagian Andhra Pradesh), Korea Selatan, dan Indonesia



TUGAS I
KOMPARASI STUDI SISTEM E-GOVERNMENT TERPILIH DI INDIA DAN INDONESIA
DISUSUN UNTUK MEMENUHI KOMPONEN PENILAIAN PADA:
MATA KULIAH
E-GOVERNMENT DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK
DOSEN:
Dr. Teguh Kurniawan, M.Sc.
OLEH: 
Ari Khusrini
PASCASARJANA FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS INDONESIA 2017 

with e-Government Tools and Policy We can AGAINST the CORRUPTION





Studi e-Government, Pascasarjana FIA, UI
Ari Khusrini, S.AP.
1606861971
heavensoase@gmail.com 
(untuk gambar, tabel, atau diagram yang tidak dapat dimunculkan karena keterbatasan platform atau saya pribadi, silakan buka tautan di bagian Daftar Pustaka, atau dapat hubungi saya melalui email tercantum)
Copyright 2017



DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
II. Maksud dan Tujuan
BAB II STUDI KASUS E-GOVERNMENT
I. SMART (Simple, Moral, Accountable, Responsive, and Transparent) Governance: Andhra Pradesh, Sachivalaya E-Aplication, India
1. Latar Belakang
2. Tentang SMART Gov
3. Tantangan Implementasi
4. Langkah Akselerasi Implementasi
5. Update
6. Program Sejenis di Indonesia
II. The OPEN: Seoul’s Anti-Corraption Project
1. Latar Belakang
2. Tentang the OPEN
3. Tantangan Implementasi
4. Update
5. Program Sejenis di Indonesia
III. Central Vigilance Commision Website: A Bold Anti-Corruption Experiment
1. Latar Belakang
2. Tentang CVC Website
3. Tantangan Implementasi
4. Update
5. Program Sejenis di Indonesia
BAB III PENUTUP
I. Kesimpulan
II. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA



BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Dinamika pertumbuhan kebutuhan informasi publik saat ini sudah sedemikian pesat. Kebutuhan publik direspons oleh Pemerintah dengan menggulirkan regulasi antara lain Undang-Undang/UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana terakhir telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016, dan berbagai peraturan pelaksananya, serta regulasi sektor lainnya. Namun demikian, pengaturan legal formal dari sisi Pemerintah harus didukung 5 (lima) hal penting yang merupakan bagian dari instrumen teknologi sebagai policy enabler yaitu: (i) infrastructure technology sebagai basis arsitektur sistem informasi; (ii) interface application yang tepat, user friendly, efektif, informatif, dan handal; (iii) security data and information, adalah jaminan keamanan data dari kerusakan akibat bencana alam maupun peretasan dan kesalahan manusia yang tidak disengaja; (iv) brainware spesification yang compatible dengan perkembangan teknologi sebagai operator maupun evaluator kebijakan sehingga tujuan kebijakan dapat dipastikan terukur dan tercapai; (v) hardware, spesifikasi dari devices yang compatible dalam mendukung jalannya sistem sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang telah ditetapkan organisasi. Policy yang mengarah pada perkembangan e-Government juga harus mempertimbangkan kelima hal tersebut di atas pada sisi para stakeholders berupa luasan cakupan, kualitas kehandalan, dan stabilitas infrastruktur teknologi; tingkat edukasi, preferensi, dan perkembangan attitutde stakeholders dalam penggunaan sistem informasi; serta tingkat pemahaman dan penerimaan regulasi legal formal yang mengatur hubungan interaksi dalam sistem informasi tersebut. Kelima komponen instrumen di atas dapat dipandang sebagai investasi dan aset masa depan yang expensive and valueable. Dengan demikian, cost and benefit harus dihitung dengan cermat sehingga efektivitas dan efisiensi langkah dapat tercapai dalam mewujudkan tujuan pembuatan sistem dimaksud. Praktik pengembangan e-Government di dunia tidaklah sama baik kecepatan perkembangannya maupun kualitas efektivitasnya dalam pencapaian tujuan kebijakan (digital devide). Hal tersebut terjadi karena terdapat perbedaan atas preferensi prioritas kebijakan yang diambil masing-masing negara, kemampuan mengenali kebutuhan, penyediaan, dan pengembangan komponen sistem informasi, serta kemampuan adaptasi stakeholders dengan laju dinamika sistem digitalisasi informasi. Sehingga, jarak atau time lack perkembangan e-Government bahkan secara umum dapat dikatakan sudah dalam satuan dasawarsa.

Pemilihan studi kasus kali ini, mengambil sampel dari negara-negara berkembang seperti India dan Korea Selatan. Dengan demikian, komparasi substantif dapat disandingkan dengan Indonesia yang juga masuk dalam kategori negara berkembang.

II. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi perkembangan e-Government pada negara uji petik terpilih (berdasarkan hasil penelitian yang dipublikasikan dalam buku e-Government: from Vision to Implementation, a Practical Guide with Case Studies, Subhash Bhatnagar, 2004) dari sisi implementasi, hambatan, dan updating kondisi terkini. Juga implementasi serta pengembangan sistem informasi existing sejenis ataupun kemungkinan implementasi sistem informasi dimaksud di masa datang apabila saat ini belum ada di Indonesia. Adapun tujuan penulisan ini sebagai media latihan penajaman analisa tentang studi e-Government di beberapa negara guna memenuhi salah satu syarat komponen penilaian akademik pada mata kuliah e-Government dan Tata Pemerintahan yang Baik, pada kelas kekhususan Studi e-Government, Pascasarjana, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia. 

BAB II STUDI KASUS E-GOVERNMENT

I. SMART (Simple, Moral, Accountable, Responsive and Transparent) Governance: Andhra Pradesh, Sachivalaya E-Aplication, India
1. Latar Belakang
SMART Gov adalah akronim sebuah sistem informasi yang juga disebut sebagai sistem informasi manajemen kesekretariatan yang dibangun di Negara Bagian Andhra Pradesh/GoAP, India. Secara garis besar SMART Gov merupakan aplikasi elektronik barupa tata kerja yang terintegrasi dan informasi manajemen yang aman, bersifat kolaboratif dengan lingkungan, serta memiliki prinsip kemudahan, akuntabilitas, cepat tanggap, dan transparan yang dibangun oleh GoAP bersama dengan Tata Consultancy Services/TCS. Gagasan untuk membangun SMART Gov muncul disebabkan adanya kondisi ineffectiveness (kekacauan proses administrasi, duplikasi dokumen, kehilangan dokumen, unintegrated data, dan informasi antarbagian yang menimbulkan celah korupsi, serta peningkatan potensi kesalahan administratif) atas kepengurusan administrasi publik (berupa file: kepentingan publik, kasus pengadilan, pelayanan umum, audit, dan anggaran) pada Sekretariat Pemerintah GoAP. Implementasi SMART Gov merupakan langkah perbaikan yang signifikan atas reformasi administrasi sehingga meningkatkan efisiensi internal dalam menangani pengurusan dokumen dengan memperkenalkan konsep paper-less office. SMART Gov juga dipertimbangkan untuk diimplementasikan di beberapa Negara Bagian India seperti Jammu-Kashmir, Gujarat, Kerala, Tamil Nadu, Rajashtan, dan Persatuan Kawasan Chanigarh.

2. Tentang SMART Gov
Langkah Pembangunan, Pengembangan, dan Implementasi SMART Gov Pembangunan sebuah sistem informasi berbasis digital memerlukan langkah-langkah spesifik, antara lain: riset sistem eksisting, identifikasi masalah sistem eksisting dan kebutuhan organisasi, identifikasi kebutuhan sistem baru, pembangunan sistem, trial sistem digital secara pararel dengan sistem manual, identifikasi bug sistem, pengembangan, dan implementasi sistem digital secara penuh. Sebagai strategi untuk meminimalisir resistensi user, maka pada tahapan proses di atas perlu dilakukan pelibatan user sesuai layering proses administrasi dalam proses desain sistem sehingga rasa kepemilikan dapat terinternalisasi kepada user selaku operator sistem (birokrat).
Pada tahap riset dan identifikasi, Tim TCS dibekali pengetahuan oleh instansi administrasi publik negara mengenai public administration terkait tugas dan fungsi dari Sekretariat GoAP. Selain daripada itu, dilakukan pula sesi diskusi dengan bagian teknologi informasi Sekretariat GoAP, serta brainstorming dari setiap kelompok kerja yang berkaitan dengan aplikasi spesifik dari Sekretariat GoAP untuk memperkenalkan bagaimana pengubahan rutinitas kerja mereka dalam bentuk digital form.

Setelah kesiapan aplikasi inti (software) dan pendukung sistem (hardware, infrastruktur jaringan, skema keamanan data dan informasi, dan prosedur kerja) selesai dipersiapkan, maka sisi brainware segera disesuaikan untuk mendukung keberhasilan trial of prototype system dengan melakukan pelatihan di setiap lini pegawai sesuai dengan otoritas dan fungsinya dalam sistem administrasi Sekretariat GoAP. Pada fase selanjutnya, SMART Govt akan diperluas cakupan implementasi penggunanya (departemen dan distrik). Unified File Management System diperkenalkan untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat dalam akses tracking proses administrasi publik tanpa batasan fisik. GoAP juga berencana akan menginstal kiosk yang ditempatkan pada resepsionis Sekretariat GoAP, sehingga masyarakat dapat menelusuri status dan history dari proses adminsitrasi publik dengan cara memindai nomor agenda file. Fitur Sistem SMART Gov Pada sistem manual, input tata persuratan dimulai dengan pendaftaran yang kemudian dilanjutkan dengan pemilahan dan distribusi fisik dokumen. Dengan menggunakan SMART Gov, dokumen input dipindai ke dalam sistem dan secara otomatis, sistem akan mengurutkan dokumen (nomor agenda file) serta mengirimkannya kepada bagian yang bertanggung jawab menangani. Prosedur pembuatan rancangan/draft surat telah sepenuhnya menjadi elektronik. Pengguna hanya perlu meng-click tombol untuk memasukan komentar. Dengan melakukan scroll up/down, pengguna dapat melihat runutan sejarah dokumen secara rinci, baik profil subyek pengubah maupun jam dan waktunya. SMART Gov juga memiliki fitur check and balances pada tipe pekerjaan keuangan. Proses tersebut akan ada pada level user entry dan meminimalisir perputaran data yang tidak perlu (data salah/kacau) terjadi pada level user yang lebih tinggi. Fitur SMART Gov lainnya yaitu: (i) otomatisasi prioritas pekerjaan dan tenggat waktu pengerjaannya; (ii) otomatisasi mekanisme pengingat; (iii) otomatisasi konsep dokumen rutin; (iv) penyederhanaan struktur langkah kerja; (v) mengenalkan sistem check list; (vi) mengenalkan fitur milestone bagi pejabat senior mengenai jadwal pengerjaan kegiatan prioritas; (vii) memperkenalkan fitur proses pengambilan keputusan berdasarkan formulir yang mengurangi keterlibatan subyektivitas birokrat.

3. Tantangan Implementasi
Tantangan yang dihadapi dalam membangun sampai dengan implementasi SMART Gov yang mature dan stabil, yaitu: (i) tenggat waktu pengerjaan bagi Tim TCS dibanding dengan banyaknya volume pekerjaan dan kerumitan dalam lintas koordinasi dari banyaknya jumlah stakeholders; (ii) penolakan pegawai yang khawatir atas potensi kehilangan kewenangan, dan pekerjaan, permasalahan “gagap teknologi”, serta komitmen yang rendah dari pegawai senior dalam penggunaan SMART Gov; (iii) TCS bertanggung jawab langsung atas pengembangan sofware dan implementasinya, di sisi lain TCS juga harus memastikan sistem berjalan baik dengan kondisi penyedia jasa perawatan dan penyedia hardware adalah pihak ketiga, kondisi dan pola koordinasi ini membuat semakin ketat target manajemen waktu dari TCS; (vi) kendala penyesuaian pegawai dalam menangani file digital dan kemampuan mengetik membuat trial sistem baru berjalan lamban; (vii) kendala komunikasi dalam interaksi (feedback) dari partisipan trial system (pegawai), sehingga memerlukan waktu lebih banyak; (viii) waktu pelatihan (terutama erlier batch), pegawai dimaksud kehilangan antusiasme dalam menjalankan SMART Gov karena terdapat jeda waktu yang cukup lama antara waktu pelatihan dengan praktik kerja nyata; (ix) penginstalan hardware dan software oleh bagian teknologi informasi terkendala keterbatasan jumlah unit perangkat komputer yang ada, terdapat kondisi sharing satu perangkat oleh tiga pegawai. Hal ini mengganggu pelaksanaan rutinitas pelayan bagi publik dan implementasi sistem digital; (x) kekhawatiran jika sistem sepenuhnya beroperasi akan ada masalah pada stabilisasi jaringan internet; dan (xi) kebijakan manajemen dan mekanisme pengarsipan (penyimpanan dan pencarian kembali) belum berevolusi sesuai kebutuhan sistem digital.
Resistensi dalam proses implementasi sistem SMART Gov secara umum muncul dikarenakan kekhawatiran pegawai yang belum mengenal sistem tersebut dengan baik. Dengan berjalannya waktu sesuai jadwal, kemanfaatan sistem tersebut bagi user terbukti pada saat siklus sibuk bahwa, tumpukan tugas dan prioritas pekerjaan terpetakan dengan jelas dan memudahkan petugas dalam melaksanakan pekerjaannya. Tantangan terbesar dari implementasi sistem ini adalah keberlanjutannya dalam kaitannya dengan ketersediaan bandwidth jaringan internet yang belum memenuhi ekspansi kebutuhan sistem serta belum bisa dipastikan kapan waktu pemenuhannya.

4. Langkah Akselerasi Implementasi
Tantangan dalam reformasi sistem adminsistrasi dari semula manual menjadi sistem berbasis digital tidaklah mudah untuk diatasi. Namun demikian, kondisi tersebut bukan hal mustahil untuk ditaklukkan. Upaya akselerasi implementasi sistem dibutuhkan untuk pencapaian target kebijakan, antara lain yaitu: (i) dukungan optimal dari pimpinan tertinggi instansi merupakan komitmen political will yang penting dan dibutuhkan; (ii) jaminan bagi pegawai bahwa, tidak akan ada pengurangan jumlah pegawai; (iii) sistem kemitraan antara TCS dengan perusahaan teknologi Informasi besar di India sebagai insentif bahwa, nantinya TCS dapat melakukan ekspansi pasar atas produk yang stabil dan berkualitas; (vi) kegiatan pelatihan yang terorganisir dengan baik dalam kelas khusus maupun on site trainning; (v) pembuatan struktur dalam rangka memberikan umpan balik berupa help desk; (vi) menggunakan pendekatan bahasa lokal untuk memudahkan akselerasi transfer pengetahuan agar sesuai dengan tenggat waktu. Hal yang Perlu Diperhatikan ke Depan Dalam implementasi sistem SMRAT Gov perlu dipastikan bahwa dalam prosesnya berjalan dengan baik. Oleh karena itu, perlu diperhatikan sisi intangible dari komponen sistem (user/brainware) sebagai upaya keberlanjutan sistem berupa pengikatan komitmen dengan penerbitan aturan prosedur kerja dan ketentuan reward and punishment di setiap lini user. SMART Gov telah memfasilitasi sisi humanis user seperti birthday remainder pada dashboard sistem yang bisa memacu kekompakan tim kerja terkait. Hal lain yang perlu dilakukan adalah redistribusi pegawai yang perannya telah tergantikan oleh sistem SMART Gov ke bagian lain yang masih membutuhkan dukungan staf.

5. Update
Saat ini SMART Gov telah established dioperasikan di GoAP bahkan telah menyentuh distrik pedesaan. Seperti dapat diakses pada situs resmi GoAP (http://www.ap.gov.in/), bahwa GoAP telah mengembangkan sistem pelayanan publik berbasis digital yang disebut SMART Gov dengan pemberian layanan kepada masyarakat yang terbagi atas: (i) pelayanan terpusat (perkeretaapian, online passport/seva application, cek perusahaan dan perizinannya, jasa pengiriman, bursa kerja, perpajakan, dan data kependudukan); (ii) pelayanan masyarakat (antara lain termasuk sektor: ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, pertanian); (iii) bisnis (antara lain mencakup: daerah tujuan investasi, profil daerah tujuan investasi, infrastruktur, peluang investasi, industri); (iv) pengembangan smart area (smart city and smart village), seperti pada gambar berikut. Gambar 2.1.1. Pelayanan Terpusat/Central Service, SMART Gov, GoAP, India
Sumber: http://www.ap.gov.in/, diakses pada tanggal 22.09.2017 Gambar 2.1.2. Pelayanan kepada Masyarakat/Citizen Service, SMART Gov, GoAP, India
Sumber: http://www.ap.gov.in/, diakses pada tanggal 22.09.2017

Gambar 2.1.3. Pelayanan Bisnis SMART Gov GoAP, India
Sumber: http://www.ap.gov.in/, diakses pada tanggal 22.09.2017 

Sedangkan untuk smart area (smart city) secara konsep umum memiliki enam dimensi, antara lain dimensi smart governance dengan penekanan partisipasi. Gambar 2.1.3. Konsep Umum Smart City
Sumber: Working Paper PSPPR, UGM, 2016 GoAP mengadopsi dan mengembangkan konsep smart city dengan fokus pada smart energy, urban mobility, IT (Information Technology) and e-Government, dan waste management. Dalam kurun waktu s.d. 2017, GoAP telah berhasil membangun 14 smart city. Dalam hal IT dan e-Government, GoAP telah mengupayakan jaringan internet yang stabil untuk mendukung implementasi aplikasi pelayanan publik online, seperti pada gambar berikut.

Gambar 2.1.4. Smart City, India
Sumber: http://smartcity.eletsonline.com/category/it-egovernance/, diakses pada tanggal 22.09.2017 

Adapun dalam konsep smart village secara umum adalah bentuk interaksi teknologi informasi, manusia, dan komunitas masyarakat desa dalam sektor pemerintahan, pendidikan, kesehatan, perdagangan, pertanian, industri rumahan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. GoAP memiliki pendekatan tersendiri dalam membangun smart village yaitu efisiensi penggunaan sumber daya yang lebih baik, pemberdayaan tata kelola pemerintahan lokal, akses terhadap fasilitas dasar yang terjamin, perilaku individu dan masyarakat yang bertanggung jawab untuk membangun kehidupan yang dinamis dan masyarakat yang bahagia. Dalam hal ini, GoAP mengundang dan bekerja sama dengan lembaga/yayasan swasta/independen/NGO’s, pejabat negara, korporasi, dan perseorangan untuk ikut serta dalam membangun dan menciptakan smart village tersebut. Gambar 2.1.4. Smart Village, India
Sumber: www.smart.ap.gov.in/, diakses pada tanggal 22.09.2017

6. Program Sejenis di Indonesia
Smart Gov seperti halnya GoAP, telah juga diterapkan pada Kota Surabaya, Indonesia yang merupakan kota dengan tata kelola pemerintahan yang paling maju di Indonesia. Pembangunan yang progresif disegala lini diupayakan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dengan pelayanan publik berbasis teknologi informasi.
Melalui website resmi Pemerintah Kota Surabaya (www.surabaya.go.id), pelayanan publik bagi masyarakat dilakukan. Adapun layanan yang diberikan antara lain: (i) layanan publik (kependudukan, kesehatan, pendidikan, layanan informasi publik, produk hukum, pengadaan barang/jasa); (ii) kemanan (satpol PP, kepolisian, daftar konsulat); (iii) pemerintahan (dokumen perencanaan, dokumen keuangan, profil birokrat, struktur organisasi, dan kinerja pemerintah daerah); (iii) ekonomi bisnis (investasi dan perdagangan, statistik sektoral, dan perizinan); (iv) sejarah; (v) pariwisata; (vi) sosial budaya; (vii) Surabaya smart city (e-Musrenbang/perencanaan pembangunan inklusif berbasis digital, CCTV, e-Budgeting; sistem informasi program layanan masyarakat, command center-pelayanan aduan masyarakat dengan respons cepat). Untuk pengaduan mayarakat Pemerintah Kota Surabaya menerapkan standar operasi yang ketat dalam hal akurasi dan kecepatan penanganan keluhan. Apabila dalam proses penangan suatu keluhan olah staf melebihi waktu yang ditentukan, maka secara otomatis warning keterlambatan penanganan tersebut naik ke level pimpinan secara bertingkat sampai dengan Walikota selaku pimpinan utama sebagai trobosan dalam menjalankan fungsi pengawasan melekat dan memastikan masyarakat terlayani dengan sebaik-baiknya. Gambar 2.1.5.
Galeri Sistem Informasi Kota Surabaya
Sumber: www.surabaya.go.id/, diakses pada tanggal 22.09.2017
Laman Utama Website Pelayanan Kependudukan e-Budgeting
Perizinan Online Pelayanan Kesehatan dengan Pilihan Bahasa

II. The OPEN (Online Procedures Enhancement for Civil Applications): Seoul’s Anti-Corraption Project
1. Latar Belakang
Tahun 1998 Pemerintah Kota Seoul secara tegas mengambil kebijakan memerangi korupsi (terdapat celah regulasi untuk melakukan tindakan korupsi berupa berbagai fee dan sogokan untuk mempermudah kepengurusan administrasi yang ditangani oleh para birokrat) dengan upaya peningkatan sanksi hukum dan transparansi administrasi publik. Konsekuensi kebijakan tersebut adalah kewajiban membangun sistem kerja atas pelayanan publik yang lebih transparan, inklusif-interaktif, dan stabil dalam pelayanan administrasi kepada masyarakat. Pemerintah Kota Seoul berinisiatif membangun dan mengembangkan “The OPEN”, sebagai instrumen anti-corraption project.

2. Tentang the OPEN
The OPEN adalah sistem pelayanan publik Kota Seoul yang melayani masyarakat secara online dengan jenis layanan antara lain yaitu, penerbitan izin dan lisensi yang memungkinkan masyarakat mengetahui prosedur pelayanan dan monitoring real-time atas status dan posisi kepengurusan dokumen dimaksud (tergambar jelas dalam website sehingga dapat meminimalisir kontak dengan birokrat dan memperkecil kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi), termasuk informasi (nomenklatur, nomor telepon, dan alamat email) departemen dan pegawai yang bertanggung jawab. Selain daripada itu, aplikasi tersebut juga merupakan media untuk mengkampanyekan gerakan antikorupsi berupa slogan, hasil survey dalam rangka mengedukasi masyarakat dan memberikan jaminan good governance (a.l. tranparansi, akuntabilitas, dan cepat tanggap). Sebagai langkah mendapatkan feedback dari masyarakat, Pemerintah Kota Seoul mengirimkan kartu pos bagi siapapun yang telah mempergunakan layanan publik dimaksud, termasuk dengan media hotline dan email, serta program temu wicara setiap hari Sabtu antara Walikota dengan masyarakat.

Grand Design the OPEN System Pemerintah Kota Seoul telah merencanakan grand design the OPEN System mulai tahun 1990 s.d. 2016 sebagai guidance pengembangan sistem informasi dimaksud. Alur dan arah pengembangan sistem dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 2.2.1 Grand Design the OPEN System 1990 s.d. 2016, Korea
Sumber: Introduction of Seoul Metropolitan Government’s e-Governance Policy Study, Jongmin Shong and Team, 2017
Tahap Pertama (1990-1999): Tahap komputerisasi dimana infrastruktur dasar untuk penggunaan teknologi informasi didirikan. Tahap Kedua (1999-2007): The Online Connection Phase dimana peta jalan dibuat dan layanan administrasi kota dan informasi elektronik terintegrasi. Tahap Ketiga (2007-2011): Tahap Pembentukan Jaringan di mana rencana "u-Seoul" diterapkan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan mobile baru, yang menekankan partisipasi dan berbagi informasi yang diperlukan untuk kemunculan Web 2.0. Tahap Keempat (2011-2015): Selama fase Smart Government, Kota Seoul mendorong rencana Smart Seoul 2015, yang dimaksudkan untuk mengintegrasikan infrastruktur online dan nirkabel dan memberikan layanan yang disesuaikan kepada warga dengan memanfaatkan data yang besar dan data publik yang terbuka, sehingga memungkinkan beragam peluang dan tempat guna meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemerintahan terbuka. Saat Ini (2016-2020): Kota Seoul berharap dapat mengamankan posisi terdepannya di era teknologi digital yang sangat terhubung dan menjaga kesejahteraan warganya melalui "Global Digital Seou”.

3. Tantangan Implementasi
Tantangan dalam impelementasi sistem adalah jumlah operator sistem (5.000 orang dari 485 departemen). Hasil survey kepuasan masyarakat terhadap sistem sebanyak 84,3 persen menganggap sistem merupakan sebuah langkah transparansi dalam upaya memerangi antikorupsi dan indiksai peningkatan kinerja para birokrat. Namun demikian, hasil survey terus menurun dari waktu ke waktu yang menggambarkan penurunan tingkat kepuasan masyarakat dalam kinerja pelayanan. Tercatat sebanyak 83 kasus tindak pidana korupsi yang terjadi namun tidak satupun yang ditindaklanjuti. Dari penjelasan studi di atas dapat disimpulkan bahwa, fokus penanganan tindak pidana korupsi tidak pada sisi teknologi informasi. Namun lebih kepada simplifikasi regulasi dan prosedur dan rekayasa ulang praktik kerja. Suksesi keberhasilan implementasi perlu dilanjutkan meskipun Walikota Seoul telah berganti. Perjanjian maupun kesepakatan terhadap sistem dimaksud kepada publik (masyarakat, dunia usaha, dan dunia internasional/lembaga PBB, negara-negara lainnya) untuk menjamin keberlangsungan implementasi sistem, transfer pengetahuan, dan adopsi sistem untuk dapat dipenuhi/ditindaklanjuti sebagai sebuah komitmen.

4. Update
Pemerintah Kota Seoul berperan untuk mengatur sistem informasi yang berhubungan dengan semua layanan publik pemerintah kota, untuk membangun jaringan telekomunikasi yang menghubungkan 32 organisasi terkait, dan untuk mengatur sebuah kelompok promosi e-Government yang luas yang dipimpin oleh Chief Information Officer (CIO). Pemerintah Kota Seoul telah mengatur 614 jenis sistem informasi untuk administrasi kota berbasis teknologi yang efisien dalam mengendalikan layanan publik terpadu, termasuk perencanaan kota, budaya, pariwisata, transportasi, dan perumahan. Pada bulan Maret 2012, seluruh upaya Pemerintah Metropolitan Seoul diarahkan untuk mengembangkan sistem manajemen konten baru (CMS) dimana karyawan dapat memposting tulisan-tulisan jenis blog mereka dan mengembangkan situs-situs lain. Oleh karena itu, informasi di masing-masing situs bisa tersebar di jejaring sosial dan warga. Hal ini juga memungkinkan untuk membuat komentar melalui internet. Pemerintah Pusat Korea Selatan telah memberi kesempatan dan memberikan dukungan kepada Pemerintah Kota Seoul untuk bereksperimen dengan inovasi teknologi yang beragam dalam proses untuk menerapkan visi baru untuk operasi kepemerintahan yang disebut "Government 3.0.", Hal ini, adalah sebuah pendekatan yang lebih berorientasi pada orang, yang berfokus pada keterbukaan, berbagi, komunikasi dan kolaborasi yang antara lain untuk meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Korea Selatan yang masih pada peringkat 52 dari 176 negara (Transparency International, 2016). Portal Pemerintah yang holistik mengintegrasikan semua layanan administrasi utama yang disediakan oleh masing-masing lembaga pemerintah untuk memfasilitasi penyampaian layanan e-Government yang lebih efektif. Bagi Pemerintah Kota Seoul, tantangan utama adalah memanfaatkan Big Data dan dengan cepat beralih ke penyediaan layanan publik yang berpusat pada seluler.

Gambar 2.2.2 Profil Sistem Informasi Pelayanan Administrasi Publik Kota Seoul
Sumber: Seoul e-Government Brochure, 2016

5. Program Sejenis di Indonesia
Berdasarkan persyaratan pembangunan dan pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi/Information Communication Technology (ICT) perlu memenuhi beberapa aspek yaitu: (i) security; (ii) infrastructure; (iii) operation; (iv) application; (v) devices. Adapun yang perlu ddipertimbangkan adalah strategi pelaksanaannya yang berkaitan dengan sumber pendanaan, tata laksana pengadaan yang aman terjamin, akuntabel dan tidak koruptif, karakteristik budaya dan kecenderungan pergeseran prilaku pada stakeholders, kesiapan civil servant dan organisasi terkait. 

Gambar 2.2.4 Persyaratan dalam Pembangunan dan Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Sumber: Halim Sulasmono, 2009

Secara brief, beberapa program aplikasi yang mendukung layanan publik telah terbangun di Indonesia. Namun demikian, sistem pelayanan publik berbasis digital dimaksud secara umum masih menginduk kepada instansi terkait (sebagai contoh: sepuluh indikator (Ease of Doing Business/EoDB) diampu oleh beberapa kementerian/Lembaga telah diwujudkan sebagaian besar ke dalam aplikasi layanan online, namun belum terintegrasi menjadi pelayanan satu pintu) dan belum menjadi satu kesatuan sistem yang terintegrasi baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Adapun contoh upaya integrasi sistem informasi ketata laksanaan pemerintahan berbasis digital yang telah dibangun pada daerah setingkat kota adalah pada Kota Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya mengembangkan berbagai sistem informasi yang pada umumnya terbagi atas dua area yaitu: (i) area pertama, mengantur tata kelola internal organisasi seperti perencanaan, keuangan, dan kinerja; dan (ii) area ke dua, berkenaan dengan pelayan publik berupa penanganan administrasi seperti: perizinan, pelayanan kesehatan, kependudukan, dan lain-lain. Skema sistem e-Government Kota Surabaya dapat disimak pada bagan berikut. Gambar 2.2.3. Skema Sistem Informasi Kota Surabaya
Sumber: Unit Kerja Internal Kota Surabaya, 2017 Namun demikian, masih terdapat kendala integrasi sistem dikarenakan sistem informasi yang terdiri dari berbagai aplikasi digital memiliki platform programing language yang berbeda, sehingga masih memerlukan waktu untuk mereplikasi aplikasi-aplikasi tersebut ke dalam satu flatform yang sama sehingga mememungkinkan dalam proses integrasi sistem e-Government.

Highlight Tindak Lanjut Hal penting lainnya yang patut menjadi perhatian adalah tuntutan global mengenai indeks persepsi korupsi, kemudahan dan keterbukaan informasi terkait dengan kepastian hukum dan kemudahan berusaha/EoDB, serta agenda prioritas pembangunan Pemerintah yang dituangkan dalam dokumen perencanaan induk negara atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) agar langkah atau pilihan pengembangan teknologi informasi sebagai tools and enabler pembangunan tidak sampai mengorbankan pembangunan sektor penting lain yang krusial dan mencakup urgensi hajat hidup bangsa, mengingat keterbatasan kapasitas fiskal negara maupun daerah. Perlu pengkajian guna mendapatkan rumusan inovasi berupa skema pembiayaan, skema pembangunan-pengembangan, serta skema operasi yang melibatkan sektor swasta dalam pembangunan ICT dengan memperhatikan kepentingan bersama (Win-win Solution).

III. Central Vigilance Commision (CVC) Website: India
1. Latar Belakang
The Transparency International Rankings pada tahun 1999 telah mencatatkan India pada posisi 83 dari 99 negara dalam tingkat tranparansi. Perkembangan tingkat korupsi di India didukung oleh persepsi bahwa korupsi merupakan bisnis dengan penghasilan tinggi dan risiko yang rendah. Dalam pemberian layanan publik, terdapat kondisi kurangnya transparansi dalam peraturan dan prosedur menyebabkan adanya celah untuk penundaan pelaksanaan tugas dan fungsi-fungsi yang penting. Hal tersebut dimanfaatkan untuk menyesatkan masyarakat dan membuka kesempatan bagi para birokrat untuk meminta gratifikasi. Diperkirakan 40 persen GDP India disumbangkan dari pasar gelap yang membuat korupsi semakin berkembang. Tekanan kepada tindak pidana korupsi tidak signifikan, terbukti sebagian besar kasus korupsi di pengadilan tertunda. Persepsi bahwa, korupsi dimulai dari pimpinan utama birokrat, namun mereka tidak pernah disidik maupun diberi hukuman. Sementara itu, the Central Bureau of Investigation (CBI) atau Biro Investigasi tidak memiliki kredibilitas di mata publik.

2. Tentang CVC Website
Dalam upaya untuk menyebarluaskan kampanye program zero tolerance for corruption, CVC yang merupakan lembaga independen, dalam hal transparansi telah melakukan langkah antara lain, yaitu: (i) menginformasikan kepada publik tentang aturan, prosedur, dan tanggung jawab dalam memerangi korupsi sebagai upaya menanamkan agenda antikorupsi kepada masyarakat; (ii) para komisaris secara langsung berkomunikasi kepada publik melalui pidato untuk membangun keyakinan pada institusi; (iii) membuat aturan agar publik dapat melaporkan tindak pidana korupsi tanpa hambatan dan rasa takut; (iv) merilis daftar pejabat pada setiap organisasi yang bertanggung jawab untuk menerima keluhan atas tindak pidana korupsi; (v) CVC mengeluarkan laporan kinerja tahunan. Memang belum ada mekanisme pendekatan tindak lanjut atas informasi tindakan korupsi dari CVC untuk secara otomatis ditindaklanjuti oleh Biro Investigasi maupun Departemen Perpajakan. Nmun demikian CVC memiliki fitur baru mengenai penyajian informasi yang meningkatkan risiko bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu informasi antara lain mengenai: rekening asing, simpanan perhiasan, properti, rekening dengan data fiktif. Masyarakat dapat melaporkan kepemilikan aset dari para birokrat yang tidak sebanding dengan pendapatan resminya dengan jaminan kerahasiaan identitas pelapor dan penghargaan tertentu atas laporan yang diberikan.

3. Tantangan Implementasi
Salah satu aksi wujud agenda antikorupsi, CVC dalam website-nya merilis data para birokrat (pejabat senior pada Departemen Pelayanan Administrasi dan Departemen Kepolisian) yang menentang penyidikan dan pemberian sanksi atas tindakan korupsi yang terjadi atas diri mereka. Media massa membantu menyebarluaskan berita tersebut. Namun demikian, beberapa media massa yang kurang bertanggung jawab membuat potensi impact dari upaya CVC menjadi berkurang.
Counter back dilakukan oleh Departemen Pelayanan Administrasi yang dapat dimaknai sebagai sikap resistensi terhadap sistem kerja CVC bahwa, pemuatan nama-nama tersangka pada website CVC dan dapat diakses mudah oleh publik menyebabkan bias proses penyidikan. Namun CVC berpendapat bahwa, secara hukum yang berlaku di India, hal tersebut tidak menjadi masalah dan justru membantu proses penyidikan kasus. Daftar pejabat dalam situs CVC sebagian besar merupakan pejabat dengan posisi penting. Sesuai dengan pandangan umum bahwa, pejabat yang masuk daftar penyidikan tidak boleh menempati posisi strategis. Namun demikian, hal ini tidak dianut dalam sistem pemerintahan di India dan merupakan salah satu faktor suburnya pertumbuhan tindak pidana korupsi. Hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah keluhan para tersangka dalam daftar CVC adalah respons yang lambat atas tindak lanjut secara adminisitratif yang memiliki dua sisi yaitu: (i) keuntungan bagi tersangka untuk tetap melakukan korupsi karena ketetapan status belum terdefinisi secara legal adminsitration; dan (ii) terdapat potensi ancaman karir bagi tersangka yang belum tentu nantinya akan dinyatakan bersalah terkait pembersihan nama baik. CVC mengambil langkah mengirimkan peringatan bulanan kepada departemen terkait untuk mempercepat penyelesaian kasus dan mentargetkan penyelesaian kasus paling lama dalam kurun waktu enam bulan. Mengingat penggunaan teknologi informasi yang masih rendah di India menyebabkan kurangnya optimisme pencapaian target dari misi CVC. Keadaan ini dapat diminimalisir dengan peran media massa yang sangat antusias dan ekspansif dalam penyebarluasan berita sampai dengan ke pelosok negeri. Dalam hal ini, media massa perlu melakukan penyelarasan pemahaman dengan pihak CVC agar efektivitas simpulan informasi sejalan dengan maksud dan tujuan yang sedang dibangun oleh CVC serta tidak menimbulkan efek kontraproduktif bagi upaya CVC dalam melawan korupsi. Langkah CVC dalam hal publikasi telah menginspirasi lembaga lainnya (misalnya lembaga perbankan) untuk mempertimbangkan publikasi daftar hitam atas nasabah mereka yang mangkir dalam memenuhi kewajibannya. Langkah publikasi ini dinilai masih memiliki efek jera kepada pelaku, mengingat psikologi masyarakat India yang sangat sinis memandang pelaku tindak pidana korupsi. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa, sanksi moral dan sosial masih dipandang efektif selain sanksi hukum.
4. Update
Sesuai dengan hasil laporan kinerja CVC tahun 2016 dilaporkan bahwa, penanganan kasus selama periode tahun 2012 s.d. 2016, mulai dari pengaduan dan penindaklanjutan kasus secara umum mengalami penurunan jumlah, namun di sisi lain persentase kasus yang dipertimbangkan untuk ditangani telah mencapai 95,6 persen dari seluruh jumlah pengaduan yang masuk. Adapun jumlah kasus yang telah diputuskan mengalami fluktuasi dalam kurun waktu lima tahun dengan sanksi terbanyak berbentuk major penalty atau 47,6 persen.
Penurunan jumlah kasus yang masuk dipengaruhi oleh tingkat kesadaran masyarakat maupun birokrat atas gerakan antikorupsi. Efek jera dalam upaya penindakan kasus korupsi di India masih efektif dirasakan. Hal ini disebabkan dalam beberapa kasus besar, banyak pejabat senior telah dijatuhi hukuman berat antara lain: sanksi adminsitrasi, mutasi, pemecatan, penghapusan uang pensiun, serta penurunan pendapatan ke level paling rendah. Kondisi tersebut dapat disimak dalam bentuk ringkasan data seperti tersaji pada grafik dan tabel sebagai berikut.

Grafik 2.3.1. Jumlah Pengaduan yang Masuk selama 2012 s.d. 2016
Sumber: Laporan Kinerja Tahunan CVC, 2016 Grafik 2.3.1. Jumlah Pengaduaan yang Ditindaklanjuti selama 2012 s.d. 2016
Sumber: Laporan Kinerja Tahunan CVC, 2016 Tabel 2.3.1. Jumlah Kasus yang Mendapatkan Penyelesaian selama 2012 s.d. 2016
Sumber: Laporan Kinerja Tahunan CVC, 2016

Capaian data di atas menggambarkan kondisi terakhir yang merupakan dampak dari kebijakan CVC yang secara simultan, holistik, dan inklusif dilakukan dalam mengkampanyekan gerakan moral antikorupsi serta inovasi perlindungan kepada whistleblower dalam melaporkan kasus dugaan korupsi. Namun demikian, masih terdapat kendala dalam pelaksanaan kerja CVC yaitu: (i) adanya edukasi masif kepada masyarakat sampai ke pelosok negeri mengakibatkan moralitas dan sensitivitas masyarakat menjadi tinggi sehingga kontribusi pada volume pengaduan kasus masih cenderung tinggi, termasuk munculnya pihak-pihak yang oportunis dan hanya ingin menjatuhkan pihak tertentu dengan pengaduan yang tidak mendasar, anonim, dan ditujukan kepada pihak di luar kewenangan hukum CVC; (ii) banyaknya jumlah kasus yang masuk mengakibatkan penumpukan kerja penyidikan yang harus dilakukan secara tuntas dalam waktu tiga bulan mengakibatkan beberapa kasus baru dapat diselesaikan dalam waktu sembilan bulan bahkan harus dilimpahkan penangannya pada tahun anggaran baru, hal ini menyebabkan anomali data pada grafik kasus yang masuk dibandingkan dengan kasus yang dipertimbangkan untuk ditangani (lebih banyak jumlah kasus yang dipertimbangkan untuk ditangani daripada kasus yang masuk di beberapa tahun tertentu) dan berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah. CVC dalam hal ini telah memulai upaya perbaikan, antar lain dengan; (i) penggunaan sistem informasi digital dalam hal penyampaian informasi pengaduan kasus sampai dengan penangannya sehingga dapat tercapai efisiensi waktu, dan kejelasan, serta keterbukaan informasi atas proses kasus yang masuk; (ii) memperkenalkan e-pledge, yaitu aplikasi berisi pernyataan sertifikat/kontrak legal pakta integritas bagi masyarakat maupun selaku organisasi untuk mendukung gerakan antikorupsi dalam komitmen perilaku dan pilihan sikap pribadi/organisasi yang dapat dijadikan dasar hukum mengikat dan jaminan dalam indikasi terjadinya perbuatan korupsi; (iii) secara simultan CVC mengadakan kerja sama dengan kementerian maupun unit kerja lainnya dalam penyelenggaraan program antikorupsi dengan tujuan penataan ke dalam (birokrat/civil servant) guna penjaminan tercapainya tujuan negara meminimalisir tindak korupsi secara menyeluruh.

5. Program Sejenis di Indonesia
Sekilas tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen dalam menjalankan tugasnya memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi, supervisi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pencegahan tindak pidana korupsi, dan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Visi KPK adalah, “Bersama seluruh elemen bangsa, mewujudkan Indonesia yang bersih dari korupsi”. Pencapain visi dilakukan dengan beberapa misi yaitu: (i) melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; (ii) melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; (iii) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; (iv) melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; (v) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam menjalankan tugasnya KPK berpegang pada lima asas yaitu: (i) kepastian hukum; (ii) keterbukaan; (iii) kuntabilitas; (iv) kepentingan umum; (v) proporsionalitas. Dalam menjaga kelima asas untuk teteap dijalankan, KPK membangun nilai-nilai dalam institusinya berupa: (i) religiusitas; (ii) integritas; (iii) keadilan; (iv) profesionalisme; dan (v) kepemimpinan.

Tahun 2016 dalam arah kebijakan umumnya, KPK menetapkan enam fokus area kebijakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan yaitu, sebagai berikut.
a. Menuntaskan penyusunan Renstra KPK Tahun 2015-2019 dalam Triwulan I 2016 sebagai panduan perencanaan tahunan dalam 4 tahun ke depan;
b. Menetapkan fokus area serta Kementerian/Lembaga/Organisasi publik maupun swasta yang menjadi sasaran program penindakan dan pencegahan korupsi terintegrasi yaitu : Penegakan Hukum, Politik, Pendidikan, Penerimaan Negara, Kesehatan, Infrastruktur, Kedaulatan Pangan, Sumber Daya Alam, Pertahanan dan Keamanan;
c. Mengantisipasi tantangan dan memanfaatkan peluang eksternal untuk memperkuat KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
d. Pembenahan aspek kelembagaan untuk mendukung strategi KPK (SDM, IT, Organisasi, Pelaksanaan Anggaran, Komunikasi, Nilai dan Etika, dan lain-lain);
e. Pembangunan kemitraan strategis dengan kalangan swasta (asosiasi), CSO, KLOPS, dan jaringan internasional khususnya pada fokus sektor tahun 2016;
f. Meningkatkan peran sebagai trigger mechanism secara konsisten dan konsekuen dengan mengintegrasikan upaya penindakan dan pencegahan.
KInerja KPK KPK telah melakukan transparansi pemrosesan kasus tindak pidana korupsi dengan terbuka kepada publik melalui mekanisme siaran pers maupun penyebarluasan melalui website resmi KPK bahkan sampai dengan jadwal persidangan tersangka korupsi. Sistem informasi digital, analog, maupun tatap muka langsung ditempuh KPK dalam mekanisme penyampaian laporan tindak pidana korupsi oleh publik. Selain di KPK, aplikasi Whistleblower system di beberapa instansi pemerintah telah diterapkan penggunaannya antara lain seperti di Kementerian Keuangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang berafiliasi dengan KPK pada upaya penanganan lanjutannya. Pendekatan promosi pendidikan dan pencegahan tindak pidana korupsi dilakukan KPK dengan cara menciptakan sinergi dengan komponen pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha melalui berbagai kegiatan koordinasi, penyuluhan-pendidikan, pemanfaatan multimedia yang menyasar berbagai bidang (seni, pendidikan, sosial-budaya, dan bisnis) sehingga gerakan antikorupsi dapat tertanam, terinternalisasi secara utuh dan menyeluruh kepada setiap komponen bangsa. Ringkasan Data Kinerja KPK Capaian kinerja KPK tahun 2016 adalah sebesar 102,2 persen (“Sangat Memuaskan”), dan meningkat dari capaian tahun sebelumnya. Peningkatan ini dicapai dari akumulasi empat perspektif berikut.
a. Perspektif Pemangku Kepentingan, s.d. Desember 2016 capaian tercatat sebesar 101,6 persen (“Sangat Memuaskan”), meningkatan dari tahun 2015, dengan persentase KPI asset recovery yang mencapai 100,3 persen (“Sangat Memuaskan”).
b. Perspektif Proses Internal, tercatat sebesar 105,9 persen (“Sangat Memuaskan”) yang meningkat dari tahun lalu dengan persentase KPI Implementasi Pencegahan dan Penindakan Korupsi Terintegrasi sebesar 120 persen (“Sangat Memuaskan”). Sedangkan KPI Perkara yang Disupervisi Mendapatkan Kepastian Hukum hanya sebesar 67,4 persen (“Kurang Memuaskan”).
c. Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran, tercatat sebesar 95,6 persen (“Sangat Memuaskan”) dengan pemenuhan persentasi KPI Pemenuhan Service Level Agreement sebesar 111,6 persen (“Sangat Memusakan”). Sedangkan persentase KPI Pemenuhan dan Kepatuhan SOP yang hanya sebesar 64 persen (“Kurang Memuaskan”).
d. Perspektif Keuangan Perspektif keuangan memberikan kontribusi yang konsisten yaitu 100 persen (“Sangat Memuaskan”) dengan indikasi Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Grafik 2.3.3. Capaian Persepsi Kinerja KPK Tahun 2015-2016
Sumber: Laporan Kinerja KPK, 2016 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Pengukuran yang dilakukan oleh lembaga internasional Transparency Internasional (TI) (http://www.ti.or.id/) mencatat bahwa, IPK Indonesia berada pada angka 37 dan masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Malaysia (49) dan Singapura (84). Indonesia masih berada pada peringkat 90 dari 176 negara di dunia. Namun demikian, data survei dari lembaga internasional lainnya seperti: World Justice Project – Rule of Law Index (WJP); Bertlesmann – Transformation Index (BTI); World Economics Forum – Executive Opinion Survey/Global Competitiveness Index (WEF); IMD – World Competitivenss (IMD); Political and Economic Risk Counsultancy (PERC); International Country Risk Guide (ICRG); Economist Intelligence Unit/EIU – Country Risk Rating (EIU); dan Global Insight – Country Risk Rating (GI), mengambarkan beberapa perbaikan capaian dan memberikan dukungan optimisme KPK untuk perbaikan peringkat IPK tahun selanjutnya.

Diagram 2.3.1.
Hasil Survei Lembaga Internasional atas Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia Tahun 2015 s.d. 2016 (dapat dijangkau pada situs KPK).
Sumber: Laporan Kinerja KPK, 2016 

Kemungkinan Adopsi Pendekatan CVC Beberapa hal yang telah dilakukan oleh CVC dan memungkinkan diadopsi oleh KPK antara lain, sebagai berikut.
a. Penggunaan sistem informasi terkait penangan kasus yang lebih transparan dan traceable oleh publik.
b. Penerapan sistem aplikasi e-pledge sebagai bentuk pengikatan secara legal formal atas komitmen oleh publik atas dirinya (masyarakat dan organisasi) dalam upaya menciptakan atmosfer budaya antikorupsi di Indonesia.

BAB III PENUTUP

I. Kesimpulan
Good Governance merupakan satu rangkaian sistem yang terdiri dari beberapa stage action (pembenahan institusi, penetapan rule of law, dan penetapan standar operasi) yang terhubung dengan interaksi lingkungan yang spesifikasinya compatible dengan tujuan organisasi yang berperan sebagai komponen pendukung sekaligus sasaran kebijakan. Untuk memenuhi kebutuhan informasi dan mendukung kecepatan pelayanan public servant bagi masyarakat guna dengan semangat meningkatkan kehidupan dan penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan berkeadilan, ICT merupakan tools terbaik dengan tetap memperhatikan sisi intagible dari lingkungan dan para stakeholders demi keberhasilan pembangunan dimaksud. Komitmen pimpinan (political will) yang konsisten beserta dukungan optimal dari pihak-pihak yang berinteraksi dalam sistem akan memberikan impact positif bagi pembangunan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. ICT dalam sistem e-Government merupakan investasi yang mahal dan valueable. Oleh karena itu, perencanaan (grand design maupun road map pembangunan dan pengembangan sistem), dukungan pendanaan, strategi, dan komitmen berkelanjutan merupakan keharusan bagi keberhasilan yang sustaintable dari sistem dimaksud. Best practice di negara-negara berkembang merupakan contoh yang dimungkinkan untuk diadopsi oleh Indonesia dengan kecenderungan kesamaan tingkat perekonomian, kultur budaya yang kental, cita-cita dan arah pembangunan bangsa dengan memperhatikan digital devide dan tuntutan kebutuhan serta tingkat persaingan di era globalisasi.
II. Rekomendasi
Indonesia telah memiliki best practice dalam implementasi good governance yaitu Kota Surabaya. Best practice juga dilakukan oleh negara-negara berkembang lainnya. Hal ini pun membuktikan bahwa, mewujudkan good governance memang bukan hal mudah namun mungkin untuk dilakukan. Penerapan good governance dengan e-government sebagai salah satu instrumennya sangat mungkin untuk meningkatkan integritas pemerintah, menekan tindak pidana korupsi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengakselerasi pertumbungan ekonomi Indonesia. Hal-hal yang dapat direplikasi oleh Indonesia secara nasional dari best parctice yang ada adalah: (i) penataan ke dalam (integritas dan komitmen berkelanjutan dari birokrat, sistem pelayanan secara keseluruhan berbasis ICT dan terintegrasi, aman, dan handal); serta (ii) pembenahan pada sisi lingkungan kebijakan/stakeholders secara simultan dengan strategi pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi kultur masyarakat dan sinergitas dengan masyarakat maupun dunia usaha dengan prinsip win-win solution.


SAVE THE NATIONS AND HUMANITY FUTURE
with e-Government Tools and Policy We can AGAINST the CORRUPTION

Policy Memo dan Policy Paper: Kebijakan Ketenagakerjaan di Indonesia

EMPLOYMENT PROBLEMS




Policy Memo and Policy Paper
Identification of the Right Problems Issues, Proper Analysis, and Appropriate Policy Recomendation
IN INDONESIA





TUGAS I
DISUSUN UNTUK MEMENUHI KOMPONEN PENILAIAN
UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)
PADA MATA KULIAH:
STUDI KEBIJAKAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

DOSEN:
Luky Djuniardi Djani, Ph.D.

OLEH:
Andrian Desta Pratama           :  1706096986
Ari Khusrini                              :  1606861971
Kartini Megawati                      :  1706007873
Mardi Adam                              :  1706007904
Tonny Hermawan                    :  1706008213



PASCASARJANA, FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
___________________________

DAFTAR  ISI



POLICY MEMO
1.    Batang Tubuh Policy Memo                                      ........................................       1          
2.    Infografis                                                                   ........................................       3

POLICY PAPER
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang                                                          .........................................         4
B.    Permasalahan                                                           .........................................         6
C.   Metode Penelitian                                                      .........................................         7
D.   Ruang Lingkup                                                          ..........................................        7

BAB II PEMBAHASAN
A.    Analisis                                                                      ..........................................        8
B.    Alternatif Kebijakan                                                   ...........................................       10

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan                                                                ...........................................       12
B.    Rekomendasi Kebijakan                                           ..........................................        12

DAFTAR TABEL
1.    Tabel 1. Indikator Ekonomi Makro Indonesia           ......................................            14
2.    Tabel 2. Peringkat EoDB Indonesia                          ......................................            14
3.    Tabel 3. Global Competitiveness Index, G20           ......................................            16
4.    Tabel 4. Peringkat Investasi Indonesia, 2017           ......................................            16
5.    Tabel 5. Indikator Pendidikan Nasional, 2016           ......................................            17
6.    Tabel 6. Data Pendidikan Tenaga Kerja                   ......................................            18
7.    Tabel 7. Penduduk Berumur >15 Tahun yang         
Bekerja selama Seminggu, menurut Status dan
Lapangan Pekerjaan, 2017                                       ......................................            19
8.    Tabel 8. PDB Lapangan Usaha                                 ......................................            20
9.    Tabel 9. Tabel 5W + 1H                                            ......................................            21


ii
 


DAFTAR GAMBAR/DIAGRAM
1.    Gambar 1. EoDB Negara ASEAN                            .....................................            15
2.    Gambar 2. Rangking 10 Indikator EoDB Indonesia ....................................              15

DAFTAR PUSTAKA                                                       .....................................            13
LAMPIRAN                                                                     .....................................             14
iii

 













POLICY MEMO
(MEMORANDUM KEBIJAKAN)


1.    Batang Tubuh Policy Memo                        ........................................         1         
2.    Infografis                                                       ........................................         3













P O L I C Y   M E M O
Kepada Yth.    : Presiden Republik Indonesia
Perihal             : Permasalahan Ketenagakerjaan di Indonesia

Merujuk hal tersebut pada pokok memorandum kami sampaikan hal sebagai berikut.
1.      Menindaklanjuti arahan Presiden mengenai progres capaian kinerja ekonomi dan pembangunan melalui reformasi struktural menyeluruh di bidang keuangan (finance track) maupun sektor lain, yaitu: ketenagakerjaan, perubahan iklim, kesehatan, percepatan pembangunan infrastruktur,  dan reformasi birokrasi, dengan hormat kami sampaikan kajian kebijakan pada sektor ketenagakerjaan sebagai bagian dari policy analysis atas kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah sebagai bagian dari evaluasi kebijakan guna pemantapan percepatan pencapaian tujuan pembangunan nasional yang berkeadilan dan merata.
2.      Pokok-pokok Kajian adalah sebagai berikut.
a.      Profil Sektor Ketenagakerjaan di Indonesia
Rerata lama pendidikan di Indonesia secara umum baru mencapai 7,8 tahun atau setara dengan kelas 2 Sekolah Menengah Pertama/SMP dengan sebaran tenaga kerja masih terkonsentrasi pada sektor primer (pertanian, perkebunan, perikanan, perburuan, perhutanan) (31,86%), sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi (23,37%), industri (13,31%). Sedangkan sektor usaha penyumbang PDB terbesar adalah sektor: (i) komunikasi dan informasi; (ii) jasa keuangan dan asuransi; (iii) jasa perusahaan; (iv) jasa lainnya; dan (v) transportasi perdagangan.
Dapat diasumsikan bahwa,  tenaga kerja di Indonesia masih terkonsentrasi pada lapangan kerja informal dengan kebutuhan skill sederhana di sektor primer yang tidak signifikan sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi, sehingga tenaga kerja terserap namun tidak memberikan kesejahteraan.
b.    Kebijakan Existing Pemerintah: Lima Pilar Strategi Plus di Bidang Ketenagakerjaan
1)    Informasi dan layanan ketenagakerjaan
Perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui sejauhmana efektivitasnya, adakah kendala, sehingga dapat dilakukan perbaikan layanan di tingkat pusat maupun di daerah.
2)    Peningkatan keterampilan dan kapasitas angkatan kerja melalui BLK setempat
Problem peningkatan kapasitas kerja melalui BLK adalah antara lain: (i) standar penerapan keterampilan yang harus inline dengan kebutuhan peluang usaha belum dibarengi dengan dukungan permodalan, pelatihan manajemen bisnis, dan keuangan yang memadai; (ii) skill yang dilatih tidak selalu inline dan sistemnya belum terintegrasi dengan kebutuhan supply kawasan industri, walau ada kerja sama dengan pihak industri, daya serap atas tenaga kerja hasil binaan BLK masih rendah; (iii) permasalahan regenerasi pengajar BLK di daerah dikaitkan dengan terbatasnya ketersediaan dana dan PNS yang ada selaku pengajar; serta (iv) sarana dan prasarana pelatihan yang masih terbatas.
3)    Pengembangan UMKM dan kewirausahaan (dengan penciptaan 10.000 wirausahawan baru/tahun di 33 provinsi); Program padat karya dan infrastruktur; dan Program darurat penciptaan lapangan kerja.
Perlu dilakukan evaluasi secara nasional sejauhmana efektivitas pencapaian targetnya, bagaimana posisi capaian target berjalannya, adakah kendala, sehingga didapatkan feedback bagi kebijakan guna upaya perbaikan.
4)    Program magang bagi lulusan SMA, SMK, dan sarjana baik di dalam maupun di luar negeri
1
Permasalahan kapasitas tenaga kerja yang saat ini bekerja di berbagai sektor ada pada lulusan SD sebesar 25,03% dan lulusan SMP sebesar 18,16% dari keseluruhan jumlah angkatan kerja.
c.      Hasil Analisis
Permasalahan sektor ketenagakerjaan di Indonesia terletak pada: daya saing tenaga kerja yang rendah, konsentrasi tenaga kerja pada sektor primer dengan income rendah, dan pengupahan merupakan isu utama kebijakan yang masing-masing memiliki akar permasalahan antara lain yaitu: pendidikan,  strategi dan ketatalaksanaan pemerintahan (lintas stakeholders), dan  kecenderungan sikap Pemerintah dalam merumuskan regulasi.
Pembenahan policy strategy dengan berpijak pada identifikasi masalah yang sebenarnya dengan menyentuh 3 (tiga) aspek yaitu: pembenahan sisi pendidikan; instrumen ketatalaksanaan yang berbasis inovasi e-government sebagai upaya perwujudan good governance; dan reformasi regulasi.
d.      Rekomendasi Kebijakan
1)    Sektor Pendidikan
Profil kualitas pendidikan ketenagakerjaan Indonesia memiliki rata-rata lama pendidikan formal 7,8 tahun memerlukan langkah akselerasi peningkatan. Selain penjaminan mutu pendidikan yang telah dilakukan Pemerintah, pencegahan dan penanggulangan anak putus sekolah dan anak tinggal kelas secara holistik juga penting untuk dilakukan. Selain jenjang pendidikan, penjurusan pendidikan vokasi juga harus diseleraskan dengan arah pembangunan regional dengan keunggulan kawasan masing-masing serta memperhatikan kebutuhan pasar, serta proporsi sebaran sektor tradeable dan non-tradeable dan implikasinya sehingga sinergi antarfaktor pengungkit keberhasilan kebijakan dapat terjadi.
Pendidikan nonformal melalui BLK harus dipandang sebagai investasi Pemerintah sehingga perlu diseleraskan dengan dinamika (demand dan proyeksi keberlanjutan secara ekonomis bagi peserta didik) dan kebutuhan pasar.
2)  E-Government
Permasalahan kebijakan antarsektor yang beririsan namun menjadi seolah terpisah karena data sektor yang tidak terintegrasi pada akhirnya memunculkan permasalahan inefektivitas kebijakan yang dikaitkan dengan ketersediaan jumlah PNS ataupun kendala fisik (jarak, bangunan kantor, dll). Perspektif sektoral harus diubah menjadi tematik ketenagakerjaan, sehingga lembaga sektor secara filosofi, database,  dan tata kerja terhubung dengan baik.
Implementasi e-government pada instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diiringi dengan aturan yang mengikat kewajiban pelaku industri dalam regulasi sektor, agar secara inklusif berpartisipasi aktif pada proses implementasinya yang dibangun dalam upaya pengawasan pemerintah atas tenaga kerja di bidang industri (pengawasan tenaga kerja asing dan penggunaan konten tenaga kerja lokal oleh industri), sehingga Pemerintah dapat melaksanakan pemantauan kebijakan dengan lebih efektif.
3)  Regulation Reform
Skema pengupahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menggunakan formulasi PDB yang dianggap lebih memperhatikan semangat kemudahan berinvestasi bagi calon investor dibandingkan dengan sisi tenaga kerja sendiri. Saran penggunaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dilakukan mengingat disparitas laju pertumbuhan setiap daerah berbeda. Hal tersebut juga memberikan beragam pilihan bagi calon investor untuk memilih daerah tujuan investasi dengan perhitungan bisnis yang lebih firm.


POLICY PAPER
(KAJIAN KEBIJAKAN)


  

BAB I
PENDAHULUAN



A.   Latar Belakang
1.    Concern Pemerintah
Pemerintah melalui Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dalam paruh waktu pertama periode pemerintahannya mulai memusatkan perhatiannya untuk upaya percepatan pemerataan pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Presiden dalam tiap kesempatan pertemuan (Rapat Terbatas, Sidang Kabinet Paripurna, maupun pertemuan lain yang dipimpin, dihadiri, ataupun pada acara yang diwakilkan kepada pejabat negara lainnya) baik di dalam maupun luar negeri, dalam arahannya Presiden senantiasa mengemukakan progres capaian kinerja ekonomi dan pembangunan melalui reformasi struktural menyeluruh dibidang keuangan (finance track) maupun sektor lain antara lain seperti: (i) ketenagakerjaan; (ii) perubahan iklim; dan (iii) kesehatan (sherpa track), percepatan pembangunan infrastruktur,  dan reformasi birokrasi, serta secara serius menanggapi permasalahan pembangunan terutama mengenai isu pemerataan pembangunan yang berkeadilan serta ekonomi kerakyatan dan kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business/EoDB.
2.    Pertumbuhan Ekonomi Makro
Indonesia sebagai negara berkembang pasca krisis tahun 1998 telah melakukan berbagai upaya perbaikan yang cukup baik (positif), meskipun belum dapat dikatakan stabil terutama dalam atmosfer perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia yang masih terjadi dalam dua dekade ini. Potensi kerentanan ekonomi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal antara lain: (i) daya saing nasional yang perlu banyak pembenahan terutama dalam menghadapi tantangan global market digitalization; (ii) potensi spillover dari kebijakan keuangan internasional yang memiliki kohesifitas yang tinggi terhadap perekonomian Indonesia; (iii) harga beberapa komoditas penting dalam perdagangan yang masih belum kondusif; serta (iv) dinamika sosial dan politik di dalam dan luar negeri.
Dalam lima tahun terakhir, capaian laju pertumbuhan ekonomi Indonesia secara nasional mengalami trend perbaikan 5,16% (tahun 2016) dan telah mencapai 4,86% pada Q2-2017. Sedangkan Tingkat Pengangguran terbuka/TPT, ketimpangan/gini ratio kemiskinan (jumlah dan %), Indeks Pembangunan Manusia/IPM, dan inflasi cenderung mengalami penurunan dan merupakan indikasi perbaikan perekonomian (data sebagaimana terlampir pada Tabel 1).
4
Indonesia dalam scope internasional, telah mencantumkan kinerja perbaikan di sektor ekonomi antara lain yaitu: perbaikan peringkat EoDB (rangking 91/190 negara), corruption indexs and rank (37 dan 90), capacity utilization(77,06), sedangkan business confidence mengalami perbaikan pada posisi 111,63 dari sebelumnya 103,42 (namun belum dapat melewati capaian tertingginya yaitu 122,50). Dalam hal EoDB di kawasan ASEAN, Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya seperti Singapura posisi 2, Malaysia posisi 23,  Thailand  posisi 46, Brunei Darussalam posisi 72, dan Vietnam posisi 82. Namun demikian, upaya perbaikan sepuluh indikator EoDB untuk mencapai target peringkat 40 pada tahun 2018 telah dilakukan antara lain: (i) modal minimum disetor sesuai kesepakatan para pihak; (ii) pengurangan waktu dan biaya untuk mendapatkan sambungan listrik; (iii) digitalisasi data kadastral dan pemanfaatan sistem Geographic Information System;(iv) kemudahan akses perkreditan melalui pendaftaran agunan modern; (v) pembayaran pajak secara online; (vi) kemudahan ekspor dan impor melalui peningkatan pelayanan kepabeanan dan pengajuan dokumen; dan (vii) adanya prosedur gugatan sederhana di pengadilan niaga (data sebagaimana terlampir pada Tabel 2, Tabel 3, Gambar 1, dan Gambar 2).
Kinerja Pemerintah juga telah tergambar dari peringkat investasi yang diberikan oleh lembaga perating internasional seperti Standard & Poor/S&P, Moody’s, dan Fitch yang secara umum memberikan predikat investment grade pada Indonesia. Namun demikian, fundamental ekonomi Indonesia masih harus tetap dijaga terutama potensi kerentanan ekonomi yang masih terbuka (data sebagaimana terlampir pada tabel 4).
3.    Kekuatan Kapasitas Fiskal Negara
Pemerintah memiliki kompleksitas urusan yang harus diperhatikan baik makro maupun mikro. Kapasitas fiskal negara dapat dikatakan sebagai instrumen urusan mikro yang harus dicermati dengan bijak karena memiliki dampak jangka pendek maupun jangka panjang bagi negara. Sesuai dengan perubahan kondisi asumsi dasar ekonomi makro yang secara langsung mempengaruhi komposisi pendapatan dan belanja negara. Maka dalam APBNP 2017, Pemerintah terus mengupayakan APBN tetap kredibel untuk keseimbangan keuangan negara yang berkelanjutan. Kapasitas fiskal negara pada APBNP 2017 memiliki komposisi, pendapatan Rp1.714.128,1Miliar, belanja Rp2.111.363,8Miliar, dengan defisit anggaran sebesar Rp397.235,8Miliar.
Fungsi Pemerintah selain sebagai regulator function dan allocative function, juga termasuk fungsi re-distribusi pendapatan yang bersumber dari APBN. Instrumen yang digunakan Pemerintah dalam fungsi re-distribusi pendapatan adalah dana transfer daerah, dana yang dikelola kementerian/lembaga yang digelontorkan dalam bentuk program, kegiatan maupun proyek infrastruktur fisik. Sedangkan salah satu instrumen penyerapnya antara lain adalah tenaga kerja.
4.    Profil Ketengakerjaan di Indonesia
Rerata lama pendidikan di Indonesia secara umum baru mencapai 7,8 tahun atau setara dengan kelas 2 Sekolah Menengah Pertama/SMP. Data indikator pendidikan secara umum menunjukan antara lain yaitu: perbandingan tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk >15 tahun pada keterangan: tidak tamat (Sekolah Dasar/SD) dan tamat (SD, SMP, dan Sekolah Menengah Atas/SMA) pada tahun 2016 masing-masing yaitu, 12,27 persen, 33,08 persen, 16,49 persen, dan 34,27 persen.
Dengan laju pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya (yoy) pada jenjang Pendidikan Dasar, capaian data tahun 2015 terkoreksi sebesar -2,80 persen dan jenjang pendidikan menengah sebesar -23,10 persen. Sedangkan data keseluruhan jenjang pendidikan yang telah diselesaikan oleh penduduk usia >15 tahun tidak lebih dari 35 persen. Dalam hal ini, capaian umum penyelesaian jenjang pendidikan pada penduduk usia >15 tahun tergolong rendah (<35 2015="" 5="" 6="" adapun="" angkatan="" atas="" capaian="" dan="" dari="" dasar="" data="" dengan="" di="" didominasi="" drastis="" indikasi="" indonesia="" kerja="" lulusan="" masalah="" masih="" menengah="" menurun="" merupakan="" negatif="" o:p="" pada="" pembangunan="" pendidikan.="" pendidikan="" penduduk="" persentase="" pertama="" pertumbuhan="" sebagaimana="" sekolah="" smp="" tabel="" tahun="" tamat="" tercatat="" terlampir="" yang="">
Tenaga kerja di Indonesia masih terkonsentrasi pada sektor primer (pertanian, perkebunan, perikanan, perburuan, perhutanan)(31,86%), sektor perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi (23,37%), industri (13,31%). Sedangkan sektor usaha penyumbang PDB terbesar adalah sektor: (i) komunikasi dan informasi; (ii) jasa keuangan dan asuransi; (iii) jasa perusahaan; (iv) jasa lainnya; dan (v) transportasi perdagangan (data sebagaimana terlampir pada Tabel 7 dan Tabel 8). 
5
Dengan sebaran data-data di atas maka dapat diasumsikan bahwa, tenaga kerja di Indonesia masih terkonsentrasi pada lapangan kerja informal dengan kebutuhan skill sederhana di sektor primer yang tidak signifikan sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi, sehingga tenaga kerja terserap namun tidak memberikan kesejahteraan.
5.    Arah Kebijakan dan Strategi yang telah Dilakukan Pemerintah
Sebagai konsekuensi dari pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang efektif berlaku pada tanggal 1 Januari 2016, Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RPJMN Tahun 2015-2019 mengarahkan pembangunan sektor ketenagakerjaan dengan agenda antara lain, yaitu: (i) peningkatan produktivitas tenaga kerja dan perluasan lapangan kerja; (ii) perlindungan pekerja migran; (iii) pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN); dan (iv) menciptakan  hubungan  industrial  yang  harmonis  dan memperbaiki iklim ketenagakerjaan.
Pemerintah bersama dengan para stakeholders terkait (Kadin, Apindo, dan Asosiasi Profesi) bersinergi dalam melakukan upaya peningkatan daya saing ketenagakerjaan antara lain: (i) percepatan pengembangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKNNI) di semua sektor; (ii) percepatan penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI); (iii) percepatan penerapan pelatihan dan pendidikan berbasis kompetensi; (iv) percepatan penerapan sertifikasi kompetensi kerja bagi pekerja Indonesia yang diakui secara nasional dan internasional.
Dalam hal ini, Pemerintah telah menetapkan lima pilar strategi, yaitu: (i) informasi dan layanan ketenagakerjaan; (ii) peningkatan keterampilan dan kapasitas angkatan kerja; (iii) pengembangan UMKM dan kewirausahaan (dengan penciptaan 10.000 wirausahawan baru/tahun di 33 provinsi); (v) program padat karya dan infrastruktur; dan (v) program darurat penciptaan lapangan kerja.
Alternatif kebijakan lain yang dilakukan untuk mengurangi pengangguran yaitu: memberikan kesempatan kepada lulusan SMA, SMK, dan sarjana untuk magang baik di dalam maupun di luar negeri. Sedangkan untuk mengatasi pengangguran di daerah, Pemerintah memberikan pelatihan keterampilan kerja melalui BLK setempat.
6. Identifikasi Masalah (Problems Phenomenon)                                              
Permasalahan ketenagakerjaan erat berhubungan dengan hal antara lain, yaitu: (i) jumlah angkatan kerja yang terus meningkat, namun spesifikasi dan kapasitasnya (tingkat pendidikan, keahlian teknik dan bahasa asing) tidak inline dengan kebutuhan industri dan dinamika global; (ii) kesempatan kerja yang terbatas pada level nasional dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang masih melambat yang berkaitan dengan EoDB; (iii) kritik pada skema pengupahan yang dinilai belum proporsional; dan (iv) permasalahan buruh migran.
B.   Permasalahan                                                         
Mencermati latar belakang. berbagai dinamika, dan issue yang terjadi pada bidang ketenagakerjaan, maka dapat dirumuskan permasalahan mendasar untuk dikaji lebih lanjut yaitu, “Bagaimanakah optimalisasi strategi peningkatan daya saing sektor ketenagakerjaan di Indonesia dalam menghadapi tantangan dinamika global guna peningkatan pemerataan kesejahteraan masyarakat?
6

 

C.   Metode Penelitian                                                  
Kajian kebijakan sektor ketenagakerjaan kali ini dilakukan dengan menggunakan paradigma konstruktivisme dengan pendekatan phenomenology dan menggunakan teknik pengumpulan data desk study atas informasi sektor dimaksud dari sumber artikel, laporan monitoring, data-data sequence yang valid dan di-publish secara resmi dari sumber terpercaya dan wawancara dengan pejabat terkait yang menangani sektor dimaksud. Setelahnya dilakukan analisis dan sintesa sehingga dapat ditarik kesimpulan untuk menyusun rekomendasi yang paling mungkin dan tepat untuk dilakukan dalam menjawab permasalahan kebijakan pada sektor ketenagakerjaan di Indonesia.
D.   Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian dibatasi dalam scope nasional dengan komponen pendukung analisis yang diambil dari sampling data tingkat regional, nasional, dan internasional.

7

BAB II
PEMBAHASAN



A.     Analisis
1.      Identifikasi Stakeholders
Pada sektor ketenagakerjaan pihak-pihak yang saling terkait adalah sebagai berikut.
a.      Pemerintah Pusat
       Dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Koperasi dan UKM selaku regulator, Direktorat Jendral Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) selaku operator kebijakan.
b.      Pemerintah Daerah
       Dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota melalui Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Koperasi dan UKM sebagai implementator kebijakan ketenagakerjaan di daerah.
c.      Tenaga Kerja
       Dapat berupa perorangan maupun asosiasi/perkumpulan/serikat buruh atau pekerja yang merupakan objek sekaligus beneficiaris kebijakan.
d.      Asosiasi Pengusaha
       Dapat berupa asosiasi seperti Kadin, Apindo, dan sejenisnya yang terdaftar dan resmi diakui pemerintah selaku objek kebijakan.
e.      Lembaga-lembaga Pelaksana SJSN
       Antara lain: PT. Jamsostek, rumah sakit ataupun klinik kesehatan selaku objek dan operator kebijakan.
f.       Pemerintah Negara Lain
       Negara-negara lain yang merupakan demand tenaga kerja dari Indonesia selaku beneficiaris kebijakan.
2.      Penilaian Strategi Existing
Dalam hal ini, Pemerintah telah menetapkan lima pilar strategi plus di bidang ketenagakerjaan. Secara ideal maka akan timbul pertanyaan skeptis apakah strategi tersebut merupakan solusi permasalahan yang ada dan apakah telah berjalan dengan efektif. Kriteria dalam mengevaluasi masalah kebijakan dapat menggunakan kriteria antara lain: technical feasibility, economical and financial possibility, political viability, dan administrative operability (Patton, Sawicki, and Clark 2016).Berikut hasil penilaian kualitatif atas strategi Pemerintah di bidang ketenagakerjaan.
a.      Informasi dan layanan ketenagakerjaan.
Perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui sejauhmana efektivitasnya, adakah kendala, sehingga dapat dilakukan perbaikan layanan di tingkat pusat maupun di daerah. Pemerintah terutama Pemerintah Daerah masih mengalami kendala dalam penerapan e-government dalam sektor ketenagakerjaan termasuk inovasi (skema kebijakan dan sumber pendanaan). Basis data yang tidak terintegrasi antarsektor yang saling beririsan (sektor ketenagakerjaan, sektor UMKM dan koperasi, dan sektor industri), sehingga kebijakan yang dikeluarkan tidak saling bersinergi secara baik.
b.    Peningkatan keterampilan dan kapasitas angkatan kerja melalui BLK setempat.
8
Problem peningkatan kapasitas kerja melalui BLK adalah antara lain: (i) standar penerapan keterampilan yang harus inline dengan kebutuhan peluang usaha belum dibarengi dengan dukungan permodalan, pelatihan manajemen bisnis, dan keuangan yang memadai; (ii) skill yang dilatih tidak selalu inline dan sistemnya belum terintegrasi dengan kebutuhan supply kawasan industri, pun jika ada kerja sama dengan pihak industri daya serap atas tenaga kerja hasil binaan BLK masih rendah; (iii) permasalahan regenerasi pengajar BLK di daerah dikaitkan dengan terbatasnya ketersediaan dana dan PNS yang ada selaku pengajar; serta (iv) sarana dan prasarana pelatihan yang masih terbatas.
c.    Pengembangan UMKM dan kewirausahaan (dengan penciptaan 10.000 wirausahawan baru/tahun di 33 provinsi); Program padat karya dan infrastruktur; dan Program darurat penciptaan lapangan kerja.
Perlu dilakukan evaluasi secara nasional sejauhmana efektivitas pencapaian targetnya, bagaimana posisi capaian target berjalannya, adakah kendala, sehingga didapatkan feedback bagi kebijakan guna upaya perbaikan. Sebagai sampel (Kota Bandung) atas evaluasi program serupa didapatkan capaian dari 1.000 orang yang dididik hanya 10% yang berhasil menjadi wirausahawan.
d.    Program magang bagi lulusan SMA, SMK, dan sarjana baik di dalam maupun di luar negeri.
Permasalahan kapasitas tenaga kerja yang saat ini bekerja di berbagai sektor ada pada lulusan SD sebesar 25,03% dan lulusan SMP sebesar 18,16% dari keseluruhan jumlah angkatan kerja. Sehingga untuk permasalahan dimaksud, program magang tersebut tidak menjawab permasalahan.
Kebijakan lainnya
e.    Skema pengupahan dalam pasal 43 jo. 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menggunakan Produk Domestik Bruto/PDB (nasional) sebagai salah satu acuan penghitungan upah minimum sedangkan tingkat laju pertumbuhan ekonomi tiap daerah berbeda sehingga gejolak terkait kecukupan nilai pengupahan dengan ongkos hidup pada beberapa daerah tertentu akan selalu ada.
f.     Pengawasan pihak terkait yang masih lemah akan praktik prosedur ilegal/penyalahgunaan izin kerja buruh migran yang masih dipengaruhi oleh supplay and demand yang tinggi.
Atas hasil penilaian di atas, maka dapat diasumsikan secara umum bahwa, masih terdapat permasalahan pada strategi atau kebijakan yang diambil oleh Pemerintah (pusat dan daerah), yaitu pada sisi identifikasi permasalahan, formulasi kebijakan, dan implementasi kebijakan. Namun demikian kesalahan fundamental dalam pembuatan kebijakan adalah kesalahan dalam identifikasi masalah, sehingga muncul situasi garbage in – garbage out yang menyebabkan inefektivitas kebijakan.

Gambar 3. Pokok Permasalahan Kebijakan
Kebijakan Lima Pilar Strategi Plus di Bidang Ketenagakerjaan
Kesalahan Formulasi Kebijakan
Kesalahan Identifikasi Masalah
Kesalahan Implementasi
9
 











B.     Alternatif Kebijakan
Perumusan alternatif kebijakan harus selalu mengkomparasikan paling sedikit dua hal yaitu: status quo (kondisi berjalan seperti biasa tanpa dilakukan perubahan atau intervensi) dan alternatif lain yang dapat ditawarkan, beserta dampak yang mungkin terjadi. Dengan demikian akan didapatkan gambaran perbandingan sebagai bahan pertimbangan objektif bagi pengambil keputusan sebagai langkah optimalisasi strategi kebijakan peningkatan daya saing sektor ketenagakerjaan di Indonesia dalam menghadapi tantangan dinamika global guna peningkatan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
1.      Kondisi Status Quo
Pada pilihan kondisi status quo dengan mempertahankan kebijakan sebagaimana analisis di atas, maka secara umum pun pada skema optimis apabila terjadi peningkatan laju pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan kondisi kesejahteraan parsial (segmented) bagi tenaga kerja pada sektor non-tradeable dengan proporsi persentase tenaga kerja yang kecil dibandingkan dengan sektor tradeable dengan serapan jumlah tenaga kerja yang tinggi, serta peningkatan jumlah kalangan menengah. Hal ini menimbulkan kesenjangan (disparitas) pendapatan dan gini ratio yang semakin lebar sehingga menjadi kontraproduktif dengan arah kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan untuk pembangunan Indonesia yang seutuhnya, merata, dan berkeadilan.
2.      Penawaran Alternatif Kebijakan Lainnya
Alternatif kebijakan yang ditawarkan dibagi dalam beberapa sektor yang mendukung peningkatan daya saing dan kesejahteraan tenaga kerja Indonesia, sebagai berikut.
a.      Sektor Pendidikan
1)  Profil kualitas pendidikan ketenagakerjaan Indonesia memiliki rata-rata lama pendidikan formal 7,8 (setara dengan kelas 2 SMP). Permasalahan mendasar ada pada capaian tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk >15 tahun pada keterangan: tidak tamat SD (12,27 persen); tamat (SD (33,08 persen), SMP (16,49 persen), dan SMA (34,27 persen)). Selain penjaminan mutu pendidikan yang telah dilakukan Pemerintah, pencegahan dan penanggulangan anak putus sekolah dan anak tinggal kelas secara holistik juga penting untuk dilakukan. Selain jenjang pendidikan, penjurusan pendidikan vokasi juga harus diseleraskan dengan arah pembangunan regional dengan keunggulan kawasan masing-masing serta memperhatikan kebutuhan pasar, serta proporsi sebaran sektor tradeable dan non-tradeable dan implikasinya, sehingga sinergi antar faktor pengungkit keberhasilan kebijakan dapat terjadi.
2)  Pendidikan nonformal melalui BLK harus dipandang sebagai investasi Pemerintah sehingga perlu diselaraskan dengan dinamika (demand dan proyeksi keberlanjutan secara ekonomis bagi peserta didik) dan kebutuhan pasar. Inovasi pengelolaan, sumber pembiayaan (apabila sumber APBN/APBD tidak mencukupi dapat dilakukan skema kerja sama dengan dunia industri dengan prinsip win-win solution), dan kerja sama terkait proses pembelajaran (termasuk materi dan regenerasi tenaga pendidik yang dapat diambil dari tenaga ahli maupun alumni anak didik apabila terdapat kondisi jumlah Pegawai Negeri Sipil yang tidak memadai) dan tindak lanjut atas output yang dihasilkan adalah sebuah keharusan yang semestinya diterapkan secara nasional.





10
 

b.      E-Government
Dalam meningkatkan efektivitas kebijakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan good governance, maka e-government adalah sebuah instrumen kebijakan yang niscaya untuk dimiliki. Permasalahan kebijakan antarsektor yang beririsan namun menjadi seolah terpisah karena data sektor yang tidak terintegrasi pada akhirnya memunculkan permasalahan in-efektivitas kebijakan yang dikaitkan dengan ketersediaan jumlah PNS ataupun kendala fisik (jarak, bangunan kantor, dll). Perspektif sektoral harus diubah menjadi tematik ketenagakerjaan, sehingga lembaga sektor secara filosofi dan tata kerja terhubung dengan baik.
Sektor ketenagakerjaan, UKM, Koperasi, dan industri dari sisi pembinaan dan pengawasan harus menggunakan perangkat sistem e-government sehingga ketidaktepatan pengambilan kebijakan dapat dihindari sekaligus kendala fisik dapat tereduksi. Inovasi dalam integrasi database menggunakan ICT harus dilakukan pada instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengikatan kewajiban pelaku industri dalam regulasi sektor, agar secara inklusif berpartisipasi aktif pada penggunaan ICT yang dibangun dalam upaya pengawasan pemerintah atas tenaga kerja di bidang industri (pengawasan tenaga kerja asing dan penggunaan konten tenaga kerja lokal oleh industri), sehingga Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pemantauan kebijakan dengan lebih efektif.
c.      Regulation Reform
       Skema pengupahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menggunakan formulasi PDB yang dianggap lebih memperhatikan semangat kemudahan berinvestasi bagi calon investor dibandingkan dengan sisi tenaga kerja sendiri. Saran penggunaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dilakukan mengingat disparitas laju pertumbuhan setiap daerah berbeda. Hal tersebut juga memberikan multipilihan bagi calon investor untuk memilih daerah tujuan investasi dengan perhitungan bisnis yang lebih firm.




11

 


BAB III
PENUTUP



A.   Kesimpulan                                                       
Kebijakan sektor ketenagakerjaan mempunyai permasalahan mendasar yaitu kesalahan identifikasi masalah menyebabkan inefektivitas kebijakan yang dihasilkan.
Permasalahan daya saing tenaga kerja yang rendah, konsentrasi tenaga kerja pada sektor primer dengan income rendah, dan pengupahan merupakan isu utama kebijakan yang masing-masing memiliki akar permasalahan antara lain yaitu: pendidikan,  strategi dan ketatalaksanaan pemerintahan (lintas stakeholders), dan kecenderungan sikap Pemerintah dalam merumuskan regulasi.
Penerapan status quo kebijakan tidak membawa dampak yang signifikan bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat bahkan dalam skema yang paling optimis sekalipun.
Pembenahan policy strategy dengan berpijak pada identifikasi masalah yang sebenarnya dengan menyentuh 3 (tiga) aspek yaitu: pembenahan sisi pendidikan; instrumen ketatalaksanaan yang berbasis inovasi e-government sebagai upaya perwujudan good governance; dan reformasi regulasi yang berpihak kepada kesejahteraan masyarakat dengan semangat win-win solution dengan pihak investor maupun dunia usaha.
B.   Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah pada 3 (tiga) sektor yaitu: pendidikan, ketatalaksanaan pemerintahan, dan reformasi regulasi. Sedangkan action plan yang dapat dilakukan dengan memperhatikan kriteria 5W + 1 H (who, what, where, why, when, how) atas pelaksanaan rekomendasi kebijakan dimaksud pada Tabel 9 sebagaimana terlampir.

12

 


DAFTAR PUSTAKA



Sumber Buku
Bhatnagar, S. (2004). E-Government: from Vision to Implementation, a Practical Guide with Case Studies. New Delhi: Sage Publications.
Bhatnagar, S. (2009). Unlocking E-Government Potential: Concepts, Cases, and Practical Insights. New Delhi: Sage Publications.
Carl V. Patton, David S. Satwicki, and Jennifer J. Clark (2013). Basic Methods of Policy Analysis and Planning 3rd Edition.
John W. Creswell (2013). Research Design : Qualitative, Quantitative and Mix Methods Approach 4th Edition.
Nugroho D. Riant. (2008). Public Policy (Edisi Revisi). Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Yustika, A.E., Prasetyantoko, et. Al. (2016). Kebijakan Ekonomi dan Sektor Strategis Nasional. Jakarta: Core Indonesia.

Artikel/Hasil Laporan
Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. (2016). Laporan Paripurna Lembaga Produktivitas Nasional. Jakarta: Author.
Wahyuni & Monika. (2016).Pengaruh Pendidikan terhadap Ketimpangan Pendapatan Tenaga Kerja di Indonesia. Jakarta:Jurnal Kependudukan Vol. 11.

Sumber Publikasi Lainnya
https://tradingeconomics.com

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
13
13

 














LAMPIRAN






















Tabel 1. Indikator Ekonomi Makro Indonesia, Series
Indikator
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Produk Domestik Bruto/PDB
6,16%
5,71%
5,21%
4,99%
5,16%
4,86 (Q2)
Tingkat Pengangguran Terbuka/TPT
6,13%
6,17%
5,94%
6,18%
5,61%
5,33% (Feb.)
Ketimpangan/Gini Ratio
0,41%
0,41%
0,41%
0,41%
0,394%
0,393%
Kemiskinan (jumlah, %)
n.a.
28553.93rb (11.47%)
27727.78rb (10.96%)
28513.57rb (11.13%)
27764,32rb (10.70%)
27771,22rb (10,64%) (Q2)
Indek Pembangunan Manusia/IPM
67.70
68.31
68.90
69.55
70.18
-
Inflasi
4,30
8,38
8,36
3,35
3,02
3,72 (Agts.)
Sumber: BPS, 2017 (diolah)

Tabel 2. Peringkat EoDB Indonesia
Indonesia Business
Last
Previous
Highest
Lowest
Unit
111.63
103.42
122.50
95.12
50.40
50.70
58.50
46.40
-1.40
6.90
34.50
-25.40
Percent
-4.54
3.67
29.17
-24.80
Percent
77.06
76.92
79.78
62.43
Percent
56258.78
43783.62
82372.21
-57612.55
IDR Billion
96466.00
85323.00
115974.00
1898.00
Cars
4.52
4.52
4.57
4.18
Points
41.00
37.00
55.00
34.00
290830.00
290464.00
402320.00
17341.00
Tonnes
37.00
36.00
37.00
17.00
Points
90.00
88.00
143.00
41.00
91.00
106.00
129.00
91.00
Sumber: https://tradingeconomics.com/indonesia/ease-of-doing-business

14

Gambar 1. EoDB Negara ASEAN
(Target perbaikan peringkat tahun 2018 ke rangking 40)




Negara
Singapore

Malaysia
Japan
Thailand
Brunei
Vietnam
Indonesia
India
Laos
Peringkat 2017
Peringkat 2016
1
18
34
49
84
90
105
130
134
2
23
34
46
72
82
91
130
139
Sumber: KementerianKoordinator Bidang Perekonomian, 2017
Gambar 2. Rangking 10 Indikator EoDB Indonesia
15
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2017
Tabel 3. Global Competitiveness Index, G20
Rank
Country
Last
Previous
Highest
Lowest
1
5.81
5.76
5.81
5.54
2
5.70
5.61
5.79
5.42
3
5.57
5.53
5.57
5.37
4
5.57
5.5
5.57
5.32
5
5.49
5.43
5.56
5.18
6
5.48
5.47
5.5
5.36
7
5.27
5.31
5.37
5.2
8
5.20
5.13
5.21
5.05
9
5.19
5.15
5.2
5.08
10
5.03
4.99
5.39
4.93
11
4.95
4.89
4.95
4.55
12
4.68
4.59
4.71
4.49
13
4.52
4.31
4.52
4.2
14
4.52
4.52
4.57
4.18
15
4.51
4.44
4.51
4.13
16
4.50
4.46
4.5
4.3
17
4.41
4.29
4.41
4.18
18
4.39
4.37
4.46
4.13
19
4.06
4.08
4.4
3.98

Tabel 4. Peringkat Investasi Indonesia, 2017
(investment grade)
Lembaga Perating Internasional
Short Term Rating
Long Term Rating

Foreign Currency
Local Currency
Foreign Currency
Local Currency
Standard And Poor (S&P)
BBB- (Stable)
BBB-
A-3
A-3
Moody’s
Baa3 (positive)
Baa3
-
-
Fitch
BBB- (positive)
BBB-
F3
-
Note:
§  Peringkat 'BBB' menunjukkan parameter perlindungan yang memadai. Namun, kondisi ekonomi yang buruk atau keadaan berubah cenderung melemahkan kapasitas obligor untuk memenuhi komitmen finansialnya terhadap kewajiban tersebut. Apabila diberikan tanda ‘minus’ artinya tingkat keraguan atas kondisi di atas atau kecenderungan potensi penurunan dapat terjadi.
§  Peringkat Baa3 mewakili obligasi atau investasi berisiko rendah, merupakan peringkat obligasi investment grade, hanya satu tingkat di atas peringkat noninvestment grade.
§  Stabel, artinya dalam outlook dinilai tidak akan ada perkembangan kondisi ke depannya.
§  Positive, artinya dalam outlook dinilai akan ada perkembangan kondisi ke depannya.
§  A-3 artinya, kewajiban jangka pendek menunjukkan parameter perlindungan yang memadai. Namun, kondisi ekonomi yang buruk atau keadaan berubah cenderung melemahkan kapasitas obligor untuk memenuhi komitmen finansialnya terhadap kewajiban tersebut.
§ 
16
F3 artinya, menunjukan indikasi kredit yang relatif rendah dan termasuk dalam kategori lower medium grade.


Tabel 5. Indikator Pendidikan Nasional, 2016





17
 



Tabel 6. Data Pendidikan Tenaga Kerja
No.
Status Pekerjaan Utama
2017 Februari
Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Tidak/belum pernah sekolah
Tidak/belum tamat SD
SD
SLTP
SLTA Umum/SMU
SLTA Kejuruan/SMK
Akademi/Diploma
Universitas
Total
1
Berusaha Sendiri
872.390
4.002.360
6.381.617
4.265.802
3.486.154
1.867.675
381.157
592.418
21.849.573
2
Berusaha dibantu Buruh Tidak Tetap/Tidak Dibayar
1.291.604
4.713.211
7.142.725
3.634.763
2.582.249
1.222.358
243.776
445.213
21.275.899
3
Berusaha dibantu Buruh Tetap/Dibayar
53.250
398.059
837.169
820.256
1.068.104
563.060
187.715
518.411
4.446.024
4
Buruh/Karyawan/Pegawai
236.954
2.484.958
6.823.239
7.448.917
10.077.675
8.118.274
2.654.414
9.576.202
47.420.633
5
Pekerja bebas pertanian
330.384
1.567.097
2.274.099
820.752
228.599
137.416
1.138
821
5.360.306
6
Pekerja bebas non pertanian
119.885
997.910
2.220.513
1.510.373
646.935
476.822
20.652
28.670
6.021.760
7
Pekerja keluarga/tak dibayar
1.174.236
3.171.150
5.490.604
4120733
2.432.689
1.153.493
193.333
428.416
18.164.654
8
Tak Terjawab
-
-
-
-
-
-
-
-
-

Total
4.078.703
17.334.745
31.169.966
22.621.596
20.522.405
13.539.098
3.682.185
11.590.151
124.538.849

%
3,28%
13,92%
25,03%
18,16%
16,48%
10,87%
2,96%
9,31%









18
 

Tabel 7. Penduduk Berumur >15 Tahun yang Bekerja selama Seminggu, menurut Status dan Lapangan Pekerjaan, 2017

11
19

 

Tabel 8. PDB Lapangan Usaha

PDB Lapangan Usaha (Seri 2010)
(terpilih)
[Seri 2010] Laju Pertumbuhan PDB Seri 2010 (Persen)
Laju Pertumbuhan Kumulatif (c-to-c)
2014
2015
2016
Tahunan
Rank
Tahunan
Rank
Tahunan
Rank
Konstruksi
6,97
5
6,36
-
5,22
-
Transportasi dan Pergudangan
7,36
4
6,68
-
7,74
4
Informasi dan Komunikasi
10,12
1
9,69
1
8,87
2
Jasa Keuangan dan Asuransi
4,68
-
8,59
2
8,90
1
Jasa Perusahaan
9,81
2
7,69
4
7,36
5
Jasa Pendidikan
5,47
-
7,33
5
3,84
-
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
7,96
-
6,68
-
5,00
-
Jasa lainnya
8,93
3
8,08
3
7,80
3
PRODUK DOMESTIK BRUTO NASIONAL
5,01
4,88
5,02


20

 

Tabel 9. Tabel 5W + 1H
Kriteria
Pendidikan
Ketatalaksanaaan Pemerintahan
Reformasi Regulasi
Who
Organ Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Institusi Pendidikan, Masyarakat, dan Swasta
Organ Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta pelaku dunia usaha
Organ Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pelaku dunia usaha, asosiasi tenaga kerja, dan akademisi
What
Pencegahan dan penanggulangan anak putus sekolah dan anak tinggal kelas secara holistik juga penting untuk dilakukan. Selain jenjang pendidikan, penjurusan pendidikan vokasi juga harus diseleraskan dengan arah pembangunan regional dengan keunggulan kawasan masing-masing serta memperhatikan kebutuhan pasar, serta proporsi sebaran sektor tradeable dan non-tradeable dan implikasinya sehingga sinergi antarfaktor pengungkit keberhasilan kebijakan dapat terjadi.
Sektor ketenagakerjaan, UKM, Koperasi, dan industri dari sisi pembinaan dan pengawasan harus menggunakan perangkat sistem e-government sehingga ketidaktepatan pengambilan kebijakan dapat dihindari sekaligus kendala fisik dapat tereduksi. Inovasi dalam integrasi database menggunakan ICT harus dilakukan pada instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengikatan kewajiban pelaku industri dalam regulasi sektor, agar secara inklusif berpartisipasi aktif pada penggunaan ICT yang dibangun dalam upaya pengawasan pemerintah atas tenaga kerja di bidang industri (pengawaan tenaga kerja asing dan penggunaan konten tenaga kerja lokal oleh industri), sehingga Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pemantauan kebijakan dengan lebih efektif.
Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
Where
Di seluruh Indonesia
Di seluruh jajaran pemerintahan terkait dengan sektor ketenagakerjaan Indonesia
Skala Nasional
Why
Dilakukan untuk menjawab pemasalah daya saing ketenagakerjaan
Dilakukan untuk pembenahan secara sistem yang berkelanjutan dan mature
Memberikan kepastian hukum dengan keperpihakan kepada kesejahteraan masyarakat sekaligus dunia usaha
When
Secepatnya
Secepatnya sesuai dengan kondisi sumber daya yang ada
21
Segera
How
Melakukan koordinasi dan implementasi secara nasional antarstakeholders
Melibatkan seluruh stakeholders untuk mendapatkan identifikasi kebutuhan sistem serta melibatkan developer ICT yang profesional sehingga didapatkan sistem yang mature, konsisten, handal, dan aman.
Koordinasi melibatkan seluruh stakeholders terkait dalam merumuskan ulang formulasi kebijakan pengupahan
22